Penulis: Muhamad Dicky Subagia
Guru honorer adalah salah satu pilar pendidikan di Indonesia, terutama di daerah pelosok yang kekurangan tenaga pendidik.
Meskipun pengabdian mereka sangat besar, kesejahteraan guru honorer hingga saat ini masih jauh dari kata layak.
Ratusan ribu guru honorer di seluruh Indonesia menerima upah yang rendah dan bekerja dalam kondisi yang sering kali kurang memadai.
Sebagai sebuah profesi, menjadi guru diyakini sebagai mata pencaharian yang secara sosial-budaya terhormat dan secara ekonomi mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari.
Namun, hal tersebut tampaknya belum dirasakan oleh para guru yang masih memiliki status sebagai guru honorer. Bahkan, perbedaan gaji guru honorer dan guru PNS sangat mencolok.
Hal ini disebabkan banyaknya tunjangan yang diterima oleh guru PNS, sedangkan guru honorer hanya mendapatkan gaji pokok, dan tunjangan hanya diberikan jika ada tugas di luar jam mengajar.
Menurut pengamat pendidikan, permasalahan guru honorer muncul karena tidak adanya rancangan induk pemerintah terkait penggantian guru yang pensiun dengan rekrutmen yang memadai.
Banyak guru honorer berharap pemerintah dapat mempertimbangkan mereka yang telah lama mengabdi, belasan hingga puluhan tahun, agar mendapatkan prioritas menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Peneliti lembaga riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menyatakan bahwa hasil survei terhadap 403 responden guru menunjukkan 42% guru memiliki penghasilan di bawah dua juta rupiah per bulan, dan 13% di bawah Rp500.000 per bulan.
Karena itu, banyak dari mereka mencari penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa 55,8% guru memiliki pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan.
Dengan gaji sekitar Rp300.000 per bulan, guru honorer dituntut melakukan berbagai pekerjaan seperti mengajar, tugas administratif, akreditasi, asesmen, pelatihan kompetensi guru, dan kegiatan lain di luar proses belajar-mengajar, termasuk menjadi pembina ekstrakurikuler.
Kurangnya kesejahteraan guru honorer adalah isu kompleks yang mencerminkan masalah struktural dalam sistem pendidikan Indonesia.
Guru honorer sering kali menjadi tulang punggung pendidikan, terutama di daerah terpencil di mana jumlah guru PNS terbatas. Namun, pengabdian mereka tidak sebanding dengan penghargaan yang diterima.
Kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan guru honorer bukan hanya masalah sosial, tetapi juga cerminan kegagalan pemerintah dalam menghargai pendidikan sebagai pilar utama pembangunan bangsa.
Kebijakan pendidikan sering kali dibuat dengan pendekatan birokratis tanpa menyentuh kebutuhan mendasar para pelaku lapangan, termasuk guru honorer yang seharusnya menjadi ujung tombak pembelajaran.
Status guru honorer yang tidak diakui secara penuh oleh sistem adalah masalah struktural yang mengakar.
Mereka sering dianggap sebagai tenaga kerja murah untuk mengisi kekosongan guru PNS, tetapi tidak diberikan hak dan perlindungan yang layak.
Ketidakjelasan status ini membuat mereka rentan terhadap eksploitasi, pemecatan sepihak, dan minimnya akses terhadap program kesejahteraan seperti asuransi kesehatan atau pensiun.
Minimnya representasi guru honorer di organisasi profesi guru juga menjadi masalah.
Serikat guru sering lebih fokus pada kepentingan guru PNS, sementara guru honorer harus berjuang sendiri.
Pemerintah juga tampak kurang mendengar aspirasi mereka, yang terlihat dari minimnya dialog terbuka dengan perwakilan guru honorer.
Retorika pemerintah tentang peningkatan kualitas pendidikan terasa hampa tanpa langkah nyata untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer.
Bagaimana mutu pendidikan bisa meningkat jika pengajarnya dibiarkan berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar?
Investasi pendidikan tidak bisa hanya berupa infrastruktur fisik atau kurikulum yang terus berubah.
Kesejahteraan guru, termasuk guru honorer, harus menjadi prioritas utama.
Kritik harus diarahkan kepada pemerintah pusat dan daerah yang selama ini saling melempar tanggung jawab terkait kesejahteraan guru honorer.
Masalah ini membutuhkan keberanian politik untuk melakukan perubahan mendasar, seperti alokasi anggaran pendidikan yang lebih besar guna menggaji guru honorer secara layak dan memperbaiki sistem rekrutmen agar lebih inklusif.
Jika tidak, ketidakadilan ini akan terus berlanjut, menghambat harapan akan pendidikan yang bermutu dan merata di Indonesia.
Kesejahteraan guru honorer adalah isu moral dan politik yang membutuhkan keberanian pemerintah untuk bertindak tegas.
Tanpa tindakan nyata, masalah ini akan tetap menjadi noda hitam dalam perjalanan pembangunan pendidikan di Indonesia.
Guru honorer, garda terdepan pendidikan Indonesia, terus berjuang di tengah keterbatasan.
Dengan gaji yang minim dan status yang tidak pasti, mereka tetap mengabdi di pelosok negeri. Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi memastikan kesejahteraan guru honorer.
Pendidikan berkualitas dimulai dari penghargaan terhadap para pengajarnya.
Suarakan keadilan untuk guru honorer demi masa depan pendidikan Indonesia yang lebih baik!***
Penulis : Muhamad Dicky Subagia
Editor : Lombok Editor