Penulis: Ir.Lalu Muh.Kabul, M.AP (Direktur Lembaga Pengembangan Pedesaan)
Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 249/KPTS/SR.320/M/04/2024.
Dalam Keputusan Menteri Pertanian tersebut disebutkan bahwa HET untuk pupuk Urea sebesar Rp 2.250 per kg, pupuk NPK sebesar Rp 2.300 per kg, kemudian pupuk NPK Formula Khusus sebesar Rp 3.300 per kg, dan pupuk organik sebesar Rp 800 per kg. Pupuk bersubsidi itu diperuntukkan bagi usaha tani subsektor tanaman pangan (padi, jagung, kedelai), hortikultura (cabai, bawang merah, bawang putih), dan perkebunan (tebu rakyat, kakao, kopi) dengan luas lahan yang diusahakan maksimal 2 hektare.
Di sisi lain, pupuk organik bersubsidi diprioritaskan pada wilayah sentra komoditas padi di lahan sawah dengan kandungan C-organik kurang dari 2 persen.
Apa itu HET? Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04 Tahun 2023 disebutkan bahwa HET adalah harga pupuk bersubsidi yang dibeli oleh petani atau kelompok tani secara tunai di Lini IV, yakni di lokasi gudang atau kios pengecer pupuk bersubsidi. Ini berarti bahwa pupuk bersubsidi itu harus dibayar tunai, tidak boleh dihutang, serta harus diambil di gudang atau kios pengecer, tidak diantar atau diangkut langsung ke lokasi petani atau kelompok tani.
Merujuk pada Peraturan Menteri Perdagangan tersebut, maka biaya pengangkutan pupuk bersubsidi dari lokasi gudang atau kios pengecer ke lokasi petani atau kelompok tani tidaklah termasuk HET, melainkan ditanggung sendiri oleh petani maupun kelompok tani.
Pengangkutan pupuk bersubsidi dari lokasi gudang atau kios pengecer ke lokasi petani atau kelompok tani dapat dilakukan oleh petani atau kelompok tani itu sendiri atau bisa juga meminta jasa pengecer.
Ketika meminta jasa pengecer, maka biaya yang harus dibayar oleh petani atau kelompok tani tidak hanya HET, melainkan juga ongkos pengangkutan. Dalam konteks ini, maka harga yang dibayar petani berupa HET ditambah ongkos pengangkutan tidak bisa ditafsirkan sebagai pelanggaran HET.
Pelanggaran HET terjadi manakala pupuk bersubsidi yang dibayarkan oleh petani atau kelompok tani ketika berada di lokasi gudang atau kios pengecer pupuk bersubsidi melebihi HET.
Pelanggaran HET oleh pengecer tidak hanya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan penunjukannya sebagai pengecer sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04 Tahun 2023, tetapi juga sanksi tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berikut dipaparkan sebuah kasus pada salah satu kelompok tani di Desa Rensing, Sakra Barat, yakni “Kelompok Tani MTbk 1”. Kelompok tani ini mengajukan pupuk bersubsidi secara berkelompok melalui e-RDKK. Oleh karena itu, pembelian pupuk bersubsidi ke pengecer juga dilakukan secara berkelompok.
Untuk pupuk Urea bersubsidi, kelompok tani ini tidak mengangkut sendiri dari lokasi gudang atau kios pengecer, melainkan menggunakan jasa pengecer, sehingga kelompok membayar sebesar Rp 2.800 per kg, di mana HET sebesar Rp 2.250 per kg dan ongkos pengangkutan sebesar Rp 550 per kg. Di sisi lain, anggota kelompok tani membayar pupuk Urea bersubsidi itu kepada kelompok tani sebesar Rp 3.000 per kg, sehingga terjadi margin sebesar Rp 200 per kg.
Margin sebesar Rp 200 per kg oleh ketua kelompok tani digunakan sebagai biaya operasional pengurusan pupuk bersubsidi. Anggota kelompok tidak bersedia membayar sebelum pupuk Urea bersubsidi itu tersedia di kelompok. Oleh karena itu pula, ketua kelompok tani mencari pinjaman dana untuk membayar pupuk Urea bersubsidi yang menjadi jatah kelompok di pengecer.
Pada kasus yang terjadi di Kelompok Tani MTbk 1, apakah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HET pupuk bersubsidi?