Kategori
SOSIAL BUDAYA Uncategorized

“Merarik Kodek” Bukan Budaya Sasak Lombok


Perkawinan atau “merarik” dalam budaya Sasak di Pulau Lombok dibedakan menjadi tiga cara, yaitu melmar (“melakoq”), kawin lari (“selarian”, “memulang”, “memaling”,”melaiang”), dan serah adat (Kuswan et al, 2019).

Dalam budaya Sasak, pada ketiga cara “merarik” tersebut dipersyaratkan usia ideal perempuan sekurang-kurangnya telah berhasil membuat atau menyelesaikan kain “Sesekan” (kain tenun) sebanyak 144 lembar kain bermacam motif.

Jika dikonversi, maka total keseluruhan usia seorang perempuan dari sejak ia bisa memegang alat Sesek sampai menghasilkan kain tenun sejumlah tersebut maka membutuhkan waktu kurang lebih selama 22 tahun.

Ketentuan mengenai usia ideal perempuan untuk menikah dalam budaya Sasak yakni minimal 22 tahun dimana pada usia tersebut perempuan dipandang telah memiliki kemandirian dan keterampilan dalam bekerja.

Oleh karena itu, kawin pada usia dini (usia muda) atau “merarik kodek” tidak dikenal dalam budaya Sasak. Karena usia ideal kawin pertama untuk perempuan dalam budaya Sasak adalah minimal 22 tahun.

Proses “melakoq” meliputi 4 tahapan, yaitu “memadik”, “melamar”, “meminang”, “nuntut janji”. Proses “memadik” merupakan pertemuan keluarga pihak laki-laki dan perempuan yang telah memiliki ikatan saling menyukai untuk memastikan pasangan tersebut saling menyukai dan mendapatkan persetujuan dari keluarga untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius (menikah).

Proses “melamar” merupakan bertemunya kembali keluarga kedua calon pengantin, dalam proses ini terdapat klarifikasi terkait kesesuaian kedua calon pengantin untuk menikah terutama usia dimana dipersyaratkan usia ideal calon pengantin perempuan adalah minimal 22 tahun. Setelah tidak ada ketentuan yang dilanggar, dilanjutkan dengan proses “meminang” dan “nuntut janji”.

Dalam proses “meminang” tersebut calon pengantin laki-laki dapat mengunjungi pihak calon pengantin perempuan sebelum “nuntut janji” guna memantapkan hati kedua pihak calon pengantin.

Proses “nuntut janji” merupakan tahapan dimana pihak calon pengantin laki-laki menyatakan kepada calon pengantin perempuan mengenai janji, kesediaan, dan kesiapaan menikah yang biasanya diucapkan pada saat proses “melamar” dan “meminang”.

Dalam proses “nuntut janji” ini calon pengantin perempuan memiliki hak untuk menyatakan apakah hatinya sudah teguh atau benar-benar siap untuk menikah dengan laki-laki yang meminangnya ataukah masih ada keraguan atau terdapat beberapa keberatan.

Akad nikah akan berlangsung setelah calon pengantin perempuan memantapkan pilihannya terhadap laki-laki tersebut.

Jika dalam proses “meminang” dan “nuntut janji” ternyata calon pengantin perempuan justru lebih memilih untuk menikah dengan laki-laki lain pilihannya dan bukan dengan laki-laki yang melamarnya, maka biasanya dalam hal ini si perempuan dipersilakan untuk bermusyawarah dengan orangtuanya dan dibolehkan ada proses kawin lari.

Dalam konteks budaya Sasak bahwa dalam kawin lari ini terkandung aspek “gender” yakni orangtua memberikan kebebasan kepada anak perempunnya yang telah berusia minimal 22 tahun dalam mengambil keputusan untuk menikah dengan laki-laki pilihan yang dicintainya dengan syarat tidak diketahui oleh orang “sama gubuk” (permukiman dalam satu kampung).

Dengan perkataan lain bahwa kawin lari yang dimaksud adalah seolah-olah memalingkan dari pandangan orang tuanya si perempuan bahwa anaknya memilih pasangan yang dicintainya berdasarkan keputusannya sendiri.

Proses pilihan “merarik” bagi pengantin laki-laki yang bukan berasal dari suku Sasak dengan perempuan dari suku Sasak yang telah berusia minimal 22 tahun yang hendak menikah menurut adat dikenal dengan serah adat.

Dalam proses serah adat ini dilaksanakan “pengampuan” yakni penyerahan diri bagi pengantin yang bukan berasal dari suku Sasak kepada tokoh adat sehingga secara adat dapat menjadi warga adat Sasak. Hal ini dilakukan sebagai syarat untuk melanjutkan pernikahan secara adat dan agama dalam tradisi adat “merarik”.

Proses “pengampuan” ini berlaku untuk pihak calon pengantin laki-laki maupun perempuan dari luar suku Sasak.

Dalam budaya Sasak bagi pasangan suami-istri yang telah memiliki anak, mereka dipanggil berdasarkan nama anak pertama, misalnya jika anak pertama bernama X maka si suami dipanggil Amaq X untuk rakyat biasa dan Mamiq X untuk bangsawan. Dan si istri dipanggil Inaq X.

Namun sekarang ini penggunaan istilah Mamiq tersebut dipersepsikan keliru dimana istilah Mamiq bukan disematkan pada nama anak pertama dari seorang bangsawan, tetapi pada nama orang tersebut.

Misalnya Lalu A memiliki anak pertama bernama X, kemudian Lalu A disebut Mamiq X. Ini keliru karena jika menggunakan istilah Mamiq maka, Lalu A hendaknya disebut Mamiq X, bukan Mamiq A.***

 

Kategori
Berita Mitra Uncategorized

FGD Mi6 : Isu Politik, Jagung, hingga Krisis Air di Bima Menjelang Pilgub NTB 2024

CERAKEN.ID – Lembaga Kajian Sosial dan Politik Mi6 kembali melanjutkan roadshownya. Usai mengunjungi Tana Samawa, kali ini Mi6 bertolak ke Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Di kota yang mayoritas dihuni penduduk suku asli Mbojo itu, Mi6 menggelar Focus Group Discussion (FGD).

Sama dengan di Sumbawa, Mi6 hendak mendengar dari lebih dekat sejumlah isu strategis yang ada di masyarakat menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) NTB 2024. FGD digelar di Rumah Bakso Depot 76 Kelurahan Panggi, Kota Bima pada Minggu (2/6/2024) sore. Bertindak sebagai Moderator FGD yakni Aktivis Abdul Majid.

Dalam sambutannya, Direktur Mi6 Bambang Mei Finarwanto menggarisbawahi bahwa gerakan yang dilakukan Mi6 tidak berkaitan dan afiliatif dengan calon tertentu yang akan berlaga di Pilgub NTB 2024.

Dalam FGD tersebut, Mi6 mengundang puluhan jurnalis yang ada di Kota Bima dan sekitarnya.

“Perlu kami sampaikan kepada publik, bahwa Mi6 melakukan roadshow atas nama independen, kita bukan tim sukses pasangan calon tertentu. Produk dari FGD ini juga akan kami tawarkan kepada seluruh paslon, bukan paslon tertentu saja,” kata Didu di hadapan puluhan jurnalis di Kota Bima dan sekitarnya.

Pria yang akrab disapa Didu, mengucapkan terima kasih atas kehadiran dari puluhan jurnalis di Pulau Sumbawa. Didu menerangkan latar belakang yang mendasari digelarnya FGD tersebut.

Menurut Didu, Pilkada Serentak 2024 merupakan momen yang strategis bagi masyarakat untuk melakukan mengartikulasikan, melihat lebih dalam persoalan apa yang masih hinggap di tubuh masyarakat.

“Pada prinsipnya, kami ingin menyerap informasi, meminta pandangan dan persepsi dari teman-teman di Pulau Sumbawa terkait persoalan-persoalan yang kira-kira bisa kita urai benang merahnya untuk kita suarakan dalam momen kontestasi demokrasi (baca, Pilgub NTB) yang akan digelar 27 November nanti,” papar Didu di hadapan puluhan jurnalis yang hadir.

Mi6 berpandangan bahwa kontestasi Pilgub NTB merupakan salah satu wadah atau corong bagi masyarakat untuk menyuarakan harapannya. Mi6 hadir di Pulau Sumbawa untuk mendengar lebih dekat “Suara dari Sumbawa” terhadap Pilgub NTB 2024.

“Saya mau meminta persepsi mereka agar para calon secara umum atau kontestan punya concern untuk memberikan tawaran kepada masyarakat nanti untuk dielaborasikan dalam janji dan visi-misi untuk menarik simpati rakyat,” tegasnya.

Lebih jauh, Mantan Eksekutif Daerah (ED) Walhi NTB itu mengungkap alasan menggandeng kawan-kawan media. Menurutnya, media merupakan salah satu eksponen yang paham dan punya akses lebih dalam untuk memotret persoalan kedaerahan.

“Kenapa kami menggandeng media? Karena kami menganggap media ini mengetahui betul problem strategis yang ada di masyarakat. Mereka punya akses informasi yang lebih luas,” ungkap Didu.

Didu berpesan, dalam kontestasi demokrasi yang sebentar lagi akan dihelat, media mesti tetap memberi kontrol sosial, kritis dan tentunya independen. Media harus berdiri di tengah, tidak boleh berpihak dan partisan.

Dalam FGD-nya, para jurnalis memberikan perspektifnya terhadap beberapa masalah yang dianggap perlu digesa penyelesaiannya oleh pemerintah yang akan menjabat lima tahun mendatang.

Isu-Isu Strategis

Jurnalis Kabaroposisi, Sumarlin mengemukakan kondisi politik yang saat ini berada di Bima menjelang Pilgub NTB 2024. Secara psikologis, Sumarlin mengungkap bahwa masyarakat Bima saat ini masih menunggu sikap politik dan dinamika politik apakah figur yang berasal dari Mbojo bisa maju di Pilgub NTB 2024.

Sejumlah figur dari Mbojo memang saat ini masuk radar untuk tampil di Pilgub NTB 2024. Sebut saja Bupati Bima Indah Dhamayanti Putri, Anggota DPR RI Fraksi PAN Syafruddin alias Rudy Mbojo, Mantan Ketua PW Muhammadiyah NTB Arsyad Gani, hingga anggota DPR RI terpilih periode 2024-2029 fraksi PKB Mahdalena.

“Masyarakat Kabupaten Bima atau Bima secara umum situasinya masih menunggu, apakah ada tokoh Bima yang diambil sebagai bacawagub atau tidak,” ujarnya.

Menurutnya, masyarakat Bima memang berharap ada tokoh dari Bima yang bisa maju di kontestasi demokrasi Pilgub NTB yang akan digelar pada 27 November 2024.

Sumarlin juga memaparkan pendapat masyarakat soal dinamika terkini Pilgub NTB. Terutama soal kandasnya duet petahana Zulkieflimansyah – Sitti Rohmi Djalillah atau Zul-Rohmi, kemudian munculnya duet Rohmi-Musyafirin (Rohmi-Firin) yang dinilai cukup mengagetkan.

Selain soal politik, Sumarlin juga menyoroti lemahnya peran aktif pemerintah dalam siklus produksi jagung. Sumarlin juga menyoroti kurang progresifnya atau kurang aktifnya peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Di tempat yang sama, Dedi Jurnalis Berita Bima menyoroti anjloknya harga jagung.

Ia menyinggung kebikakan yang dikeluarkan Badan Pangan Nasional (BAPANAS) Republik Indonesia melalui Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbanas) Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2022 tentang Harga Acuan Pembelian Di tingkat Produsen Dan Harga Acuan Penjualan Di Tingkat Konsumen Komoditas Jagung, Telur Ayam Ras, Dan Daging Ayam Ras.

Dalam Perbanas RI tersebut menetapkan Harga Acuan Pembelian Komoditi Jagung di Produsen Rp. 4.200 dengan Kadar Air (KA) 15%, merivisi HAP yang diatur dalam Permendag Nomor 7 tahun 2020 yang hanya Rp 3.150. Sementara untuk Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen ditetapkan menjadi Rp. 5.000 yang sebelumnya Rp. 4.500.

“Soal turunnya harga jagung, ini kekuh kesah para petani kita dengar hampir setiap hari. Ini pasti ada yang bermain. Di lain sisi, pemerintah tidak mampu memaksimalkan fungsi kontrol di lapangan. Ini kan soal serius, pemerintah tidak bisa hadir memberikan rasa keadilan bagi petani,” terangnya.

Di sisi lain, ada ancaman serius yang dihadapi Kabupaten Bima dan Kota Bima dalam proses produksi jagung yakni ancaman krisis air bersih. Krisis air bersih terjadi lantaran berkurangnya gunung atau bukit yang selama ini menjadi daerah serapan air ketika musim penghujan.

Bukit tersebut dieksploitasi atau dibabat itu kepentingan menanam jagung. Saat ini, kata Dedi dari Berita Bima dari , sejumlah desa/kelurahan di Bima rutin mendapatkan suplai air bersih. Bahkan, di sejumlah titik, warga mulai memberi air dengan harga Rp 5 ribu setiap jerigen. Selain soal air, suhu udara di Bima juga belakangan menjadi kian panas.

Jurnalis-jurnalis lain seperti Irul Jurnalis Taroa info, Ibrahim Liputan 17, Muhaimin Kupas Bima juga memberi perspektif yang menarik dan memberi warna dalam FGD tersebut. Hasil diskusi itu nanti akan dijadikan Mi6 sebagai bahan untuk melakukan rencana tindaklanjut. Usai diskusi formal, Mi6 dan puluhan jurnalis di Sumbawa berdiskusi terkiat dinamika politik terkini yang berkembang di NTB.***