LOMBOKEDITOR.COM – CLDS Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar acara bedah buku berjudul “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming”
Buku ini diterbitkan bekerja sama dengan PT Raja Grafindo, dan menyajikan hasil eksaminasi terhadap putusan perkara tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 40/Pid.Sus-TPK/2022/PN.BJM, serta putusan banding dan kasasi terkait.
Kesalahan dan Kekhilafan Hakim Terhadap Mardani H. Maming
Buku ini dihasilkan oleh tim eksaminator yang terdiri dari pakar hukum berpengalaman seperti Prof. Dr. Ridwan Khairandy (Ahli Hukum Perdata/Bisnis), Dr. Mudzakkir (Ahli Hukum Pidana), serta Prof. Hanafi Amrani (Ahli Hukum Pidana).
Eksaminasi dilakukan dengan menelaah secara mendalam aspek hukum dari tiga putusan, yaitu putusan tingkat pertama di PN Banjarmasin, putusan banding di PT Banjarmasin, dan putusan kasasi di Mahkamah Agung.
Menurut kesimpulan yang disampaikan, terpidana Mardani H. Maming seharusnya dinyatakan tidak bersalah dalam perkara tersebut, karena putusan hakim dibangun dengan asumsi dan tidak mempertimbangkan fakta hukum serta bukti yang tersampaikan dalam persidangan.
Dakwaan yang Dipaksakan dan Kontradiksi Hukum
Eksaminasi ini menemukan bahwa dakwaan jaksa terhadap Mardani H. Maming cenderung dipaksakan karena tidak memiliki cukup bukti yang menunjukkan penerimaan uang suap.
Hasil kajian menunjukkan bahwa transaksi yang dipermasalahkan sebenarnya adalah tagihan perusahaan berdasarkan perjanjian kerja sama yang sah, sebagaimana telah diputuskan dalam putusan pengadilan niaga yang inkracht.
Salah satu temuan kritis dalam buku ini adalah ketidakhadiran pemberi suap di persidangan.
Dakwaan dibangun berdasarkan Pasal Suap, namun pihak pemberi suap, alm. Hendry Setio, tidak pernah diperiksa selama proses penyidikan dan persidangan.
Hal ini menunjukkan lemahnya konstruksi hukum yang digunakan oleh jaksa.
Pasal “Kesepakatan Diam-diam”: Istilah yang Tidak Dikenal dalam Hukum Pidana
Lebih lanjut, jaksa membangun argumen adanya “kesepakatan diam-diam” antara Mardani Maming dan pemberi suap, meskipun tidak ada bukti yang menunjukkan pertemuan pikiran (meeting of mind) antara kedua belah pihak.
Dalam ilmu hukum pidana, konsep seperti itu tidak dikenal, sehingga penggunaannya dalam dakwaan terhadap Maming dinilai tidak tepat.
Kewenangan Pejabat Publik yang Sesuai Prosedur
Sebagai Bupati Tanah Bumbu saat itu, Mardani H. Maming memiliki kewenangan untuk menandatangani Surat Keputusan pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP).
Berdasarkan kajian dari buku eksaminasi ini, IUP OP yang dikeluarkan sudah memenuhi syarat administrasi dan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Oleh karena itu, tidak ada pelanggaran yang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Putusan yang Tidak Berdasarkan Bukti dan Fakta Hukum
Hasil eksaminasi ini menyimpulkan bahwa putusan di tingkat PN, PT, dan Kasasi dibangun berdasarkan asumsi tanpa mempertimbangkan bukti-bukti yang valid.
Fakta hukum yang tersaji di pengadilan diabaikan, dan keputusan didasarkan pada konstruksi hukum yang spekulatif.
Penerapan Pasal yang Tidak Tepat
Eksaminasi juga mengkritisi penerapan Pasal 93 UU Pertambangan terhadap Mardani Maming.
Pasal ini seharusnya mengatur pemilik IUP OP, bukan pejabat yang mengeluarkan izin.
Hal ini menunjukkan adanya ketidaktepatan dalam penerapan peraturan perundang-undangan.
Fenomena Kekhilafan Hakim dan Kesalahan Nyata
Buku ini menyoroti adanya kekhilafan hakim yang memenuhi syarat untuk peninjauan kembali (PK).
Putusan Kasasi dalam perkara ini dianggap mengandung kekeliruan yang nyata karena tidak mempertimbangkan fakta-fakta baru yang seharusnya dijadikan bahan pertimbangan dalam proses persidangan.
Ahli dan Pembedah Beri Pandangan Kritis
Dalam acara bedah buku, beberapa pembicara terkemuka yang hadir memberikan pandangan kritis mereka terhadap hasil eksaminasi ini.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., L.L.M., serta Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum., turut memberikan tinjauan akademis mengenai kekeliruan hakim dalam menangani kasus Mardani H. Maming.
Romli Atmasasmita menyampaikan bahwa temuan buku ini menunjukkan kelemahan mendasar dalam penerapan hukum pidana terhadap pejabat publik.
“Kasus ini menjadi contoh penting mengenai betapa rentannya proses peradilan pidana jika tidak didasarkan pada bukti yang kuat dan konstruksi hukum yang valid,” ujarnya.
Perlu Revisi UU Tipikor
Bedah buku ini juga menyoroti perlunya revisi terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) agar tidak terjadi salah penerapan pasal.
Tim eksaminator menyarankan agar penerapan Pasal 14 UU Tipikor diperjelas dengan menekankan pembatasan penafsiran yang terlalu luas, sebagaimana yang terjadi dalam perkara Maming.
Menuju Peninjauan Kembali?
Berdasarkan temuan buku eksaminasi ini, tim eksaminator merekomendasikan agar dilakukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mardani H. Maming.
Mereka berpendapat bahwa adanya kekeliruan nyata dan fakta baru yang diabaikan oleh hakim seharusnya menjadi dasar untuk membebaskan Mardani dari segala tuntutan hukum.
Dengan adanya hasil eksaminasi ini, publik kini menantikan langkah lanjutan dari tim kuasa hukum Mardani H. Maming dan apakah putusan ini akan dibawa ke ranah peninjauan kembali untuk mendapatkan keadilan yang lebih proporsional. ***
Penulis : LE-02
Editor : LombokEditor